WartaSugesti.com | Urgensi putusan Mahkamah Konsitusi (MK) terhadap dinamika politik dan sistem pemilihan kepada daerah (Pilkada) 2024 dalam negara demokrasi di tanah air mampu menstabilkan gonjang ganjingnya demokrasi yang semula kondisinya seperti telur diujung tanduk.
Sebelumnya, MK melakukan uji materi terkait gugatan seputar Pilkada perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Suhartoyo, Ketua MK membacakan putusan yang berbunyi bahwa MK memutuskan untuk mengubah persyaratan pengusungan pasangan calon oleh partai politik. Dimana yang semula memerlukan perolehan minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara sah, menjadi lebih rendah. Yakni 6,5% hingga 10% sesuai jumlah penduduk dalam DPT.
Dan disisi lain, MK juga menolak permohonan pengujian ketentuan mengenai batas usia minimal calon kepala daerah sebagaimana tercantum dalam Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Menanggapi hal tersebut, Adv. Afifuddin, S.H., Jebolan Kampus Universitas Trunojoyo Madura (UTM), seorang tokoh muda praktisi dan politisi kian memberikan pandangannya terkait implikasi dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
1. Demokrasi semakin berkualitas dan terbuka.
Menurutnya, putusan MK yang telah mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora sangat signifikan dampaknya terutama dalam hal mekanisme pencalonan kepala daerah.
Didalam putusan MK sangat jelas terjadi penurunan ambang batas pencalonan, maka yang parpol besar diuntungkan dan parpol kecil juga diuntungkan.
partai politik kecil yang memperoleh suara minimal 6,5% hingga 10% sesuai jumlah penduduk dalam DPT memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan pasangan calon kepala daerah yang hendak diusung.
Kan sama- sama partai politik, jadi MK menurutnya sudah tepat sesuai prinsip hukum memberikan hak yang sama dalam menyalurkan hak berpolitik dari tiap-tiap partai politik dan mengurangi dominasi parpol-parpol besar.
“Selain dari itu pula juga putusan MK tersebut dapat menghentikan potensi munculnya calon tunggal di suatu daerah seperti yang telah diisukan sebelum putusan MK dibacakan mengingat ambang batas yang cukup tinggi dan mengkerdilkan parpol kecil yang sedang tidak berdaya”, tandas Afifuddin.
2. Kualifikasi Kepala Daerah
Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menolak permohonan pengujian ketentuan batas usia minimal calon kepala daerah.
Afifuddin menjelaskan terkait perihal tersebut, menurutnya sudah tepat dalam hal menetapkan calon kepala daerah yang diperlukan dan memenuhi kualifikasi.
Kalau membaca kembali Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 justru mempertegas terkait syarat usia calon kepala daerah harus dihitung pada saat penetapan pasangan calon.
“Disinilah KPU harus patuh dan tunduk pada ketentuan yang telah memastikan bahwa hanya calon yang memenuhi persyaratan usia yang dapat didaftarkan,” terang Afifuddin
Afifuddin menambahkan, penetapan tersebut masih ranah kewenangan KPU. Jika terhitung sejak dilantik bukan lagi menjadi kewenangan KPU karena pasangan kepala daerah terpilih adalah kewenangan pemerintah pusat.
“Seperti bupati, walikota atas nama presiden yang menerbitkan SK Mendagri (Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri). Untuk gubernur, yang menerbitkan SK Presiden atau Keppres (Keputusan Presiden),” tandas Afifuddin saat dikonfirmasi.
Afifuddin juga menambahkan, bahwa dalam hak politik, hak untuk dipilih dan hak untuk dapat memilih (batas usia memilih pemimpin dari tingkat kepala desa sampai presiden) masih dibatasi dan diatur dalam UU, maka batasan usia minimal sebagaimana dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan minimal umur 25 tahun untuk calon bupati, walikota, dan wakilnya sudah sesuai dengan prinsip hukum”, tegas Afifuddin yang berprofesi sebagai advokat itu.
3. Perbedaan kewenangan MK dan MA
Ada perbedaan kewenangan dari kedua lembaga tertinggi dilingkungan peradilan, diantaranya sebagai berikut :
A. Mahkamah Konstitusi mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
B. Kemudian mengenai kewenangan MA
Terkait dengan kewenangan MA, Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 mengatur sebagai berikut:
Mengadili pada tingkat kasasi, Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan Mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Selain itu, lebih lanjut dijelaskan juga bahwa MA berwenang memeriksa dan memutus pemohon kasasi.
Sengketa tentang kewenangan mengadili antara pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan di lingkungan peradilan yang lain, antara dua pengadilan yang ada dalam daerah hukum pengadilan tingkat banding yang berlainan dari lingkungan peradilan yang sama, dan antara dua pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan yang sama atau antara lingkungan peradilan yang berlainan.
Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Asas putusan MK berkekuatan hukum tetap dan bersifat final sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 ayat (1) berikut penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi :
“Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)”.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan putusan yang tidak hanya mengikat para pihak (inter parties) tetapi juga harus ditaati oleh siapapun (erga omnes). Asas erga omes tercermin dari ketentuan yang menyatakan bawa putusan MK langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.
Dari uraian dan dasar-dasar hukum diatas, Afif berpendapat bahwa, kewenangan menguji UU terhadap UUD adalah MK, bukan MA,” tandas Afifuddin .
Tim Redaksi