WartaSugesti.com | Banjarmasin – Sorotan terhadap Perwali 152/2023 masih hangat hingga saat ini. Berikut tulisan Norhalis Majid dan respon Ombudsman Kalsel.
Sepertinya tidak ada tanda-tanda Perwali 152/2023 tentang tarif pelayanan air limbah domestik dan pelayanan sedot tinja, akan dicabut. Padahal sudah banyak masukan dan saran disampaikan berbagai kalangan.
Banyak yang menyarankan, bagaimana kalau demo saja? Mungkin dengan itu mendapat perhatian dan tekanan?. Atau diteruskan prosesnya ke lembaga penegak hukum, agar terang dan jelas duduk persoalannya.
Ambin Demokrasi Menguji Logika Janji Perumda PALD
Ah lebay. Bukankah di DPRD masih ada yang mau dan mampu berpikir kritis? Sehingga, walau Perwali tersebut buah pesanan Perumda PALD, tetaplah harus taat asas.
Lantas apa yang paling bermasalah dari Perwali tersebut, selain soal prosesnya yang nampak terburu-buru, sampai-sampai dasar mengingatnya saja merujuk pada regulasi yang sudah dibatalkan MK, yaitu UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air.
Polri Minta Anggaran 2025 Naik
Yang paling krusial, ada modus pengambilan uang masyarakat secara sembunyi dan diam-diam, tanpa persetujuan pemilik uang, diselipkan pada pembayaran PDAM.
Coba periksa sekali lagi kitiran pembayaran PDAM, selain bayar iuran sampah, ada tambahan bayar limbah dalam kitiran tersebut, dan pengenaannya tidak meminta persetujuan para pemilik uang yang diambil.
Kelengahan pelanggan PDAM, jarang memeriksa secara detail kitiran pembayarannya. Apalagi yang bayar melalui elektronik, autodebet, dan lain sebagainya, yang tidak menampilkan rincian kitiran secara detail. Kelengahan itulah yang mudah dimanfaatkan untuk menitip pengambilan uang masyarakat secara sembunyi dan diam-diam.
Lantas, apa hukumnya bila uang masyarakat diambil tanpa persetujuan? Apakah Perwali punya otoritas menghalalkan yang haram?
Kalau tujuannya menghidupkan Perumda PALD sebagai satu potensi yang tidak boleh mati, maka perbaiki prosesnya. Melalui tahapan legislasi yang terukur, disertai kajian mendalam, melibatkan partispasi masyarakat, meminta izin dan persetujuan warga pengguna, maka tata kelola PALD ini barulah dapat disebut “baiman”, karena jeli dan peka soal hak – kewajiban.
Bagaimana tanggapan Hadi Rahman selaku Kepala Perwakilan Ombudsman Kalsel?
Katanya, Kami sependapat dengan apa yang disampaikan Penulis. Bahwa apabila suatu kebijakan daerah berupa peraturan kepala daerah (perkada) dinilai dalam proses pembentukannya ada yang tidak sesuai kaidah hukum atau dalam penerapannya dinilai memberatkan masyarakat, maka bisa dilakukan _review_ (peninjauan kembali).
“Salah satunya adalah dalam bentuk _legislative review_. Bahwa DPRD memiliki peran dan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan perkada sebagai suatu kebijakan daerah. Selain itu, dapat ditempuh _judicial review_ atau uji materi oleh lembaga yang berwenang di ranah yudisial untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang (UU) terhadap UU,” ujar Hadi, dalam Chat WA Grup.
Disebutkan Hadi, Pemohon _judicial review_ adalah siapa saja yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya atas pemberlakuan peraturan tersebut dimana hakim akan menguji isi (bunyi pasal-pasal) dan prosedur pembentukan dari peraturan perundang-undangan dimaksud.
“Satu lagi sebenarnya juga dimungkinkan dalam hal pembuat kebijakan sendiri yang melakukan peninjauan atau _executive review_. Artinya ada proses monitoring dan evaluasi terutama terhadap dampak dari pemberlakuan peraturan tersebut dimana apabila kualitas pelayanan publik tidak ada perbaikan dan menimbulkan banyak pengaduan/keberatan dari pengguna layanan, maka pembuat kebijakan patut memberikan atensi segera dan melakukan _review_ yang diperlukan,” tambah Hadi.
Sehingga, lanjutnya, tetap ada ruang untuk partisipasi masyarakat, baik pada saat sebelum maupun sesudah berlakunya kebijakan.(Junaidi)