WartaSugesti.com | Wartawan melakukan liputan. “Tidak ada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas dan eksplisit mengenai larangan mengambil gambar, merekam video, merekam suara di dalam kantor pemerintahan dan fasilitas umum sepanjang dilakukan untuk tugas jurnalistik,” tulis Rudi Hartono Situmorang, S.H.
Rudi Hartono Situmorang, dari Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron menulis saat menjawab pertanyaan pada forum hukum online yang dia asuh, Tugas Jurnalistik dilakukan dengan cara-cara profesional dan bertujuan memberikan informasi yang berimbang.
Namun demikian, apabila terdapat pihak-pihak yang merasa dirugikan atas informasi atau dokumentasi yang dimuat dalam produk jurnalistik yang dibuat oleh wartawan, maka pada dasarnya masyarakat dapat menggunakan pelayanan hak jawab dan hak koreksi.
Wartawan, Siapa Sih Dia? Ini Penjelasannya
Lalu apakah seorang wartawan bebas melakukan dokumentasi tanpa ijin? Misalkan mengambil gambar, merekam video, merekam suara di dalam kantor pemerintahan dan fasilitas umum?.
Rudi Hartono Situmorang mengasumsikan bahwa dokumentasi yang dibuat oleh wartawan dilakukan pada saat wartawan yang bersangkutan sedang menjalankan tugas jurnalistiknya.
Selanjutnya, kata dia bahwa profesi wartawan menurut Pasal 1 angka 4 UU Pers, Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Bamsoet: MPR Sudah siapkan Karpet Merah untuk Amandemen UUD 1945
Dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik tersebut, terdapat perbedaan antara wartawan dan masyarakat sipil.
Wartawan, secara khusus bernaung dalam pers atau perusahaan pers. (yang berbadan hukum.red)
Ketika menjalankan profesinya, wartawan harus menaati kode etik jurnalistik.
Menurut Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk.
Dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, wartawan Indonesia harus menempuh cara-cara yang profesional.
Cara-cara profesional tersebut adalah:
1. Menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
2. Menghormati hak privasi;
3. Tidak menyuap;
4. Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
5. Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
6. Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
7. Tidak melakukan plagiat, termasuk hasil liputan wartawan lain diakui sebagai karya sendiri;
8. Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Selain cara-cara profesional dalam menjalankan tugas jurnalistik sebagaimana disebutkan di atas, dalam konteks merekam atau dokumentasi yang dilakukan oleh wartawan juga harus tunduk pada Kode Etik Jurnalistik lain yaitu:
1. Tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan
2. mempunyai hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya.
3. Menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.
4. Menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya kecuali untuk kepentingan publik.
Berdasarkan ketentuan di atas, wartawan merekam tanpa izin dilarang ketika hal tersebut berkaitan dengan pribadi narasumber.
Misalnya kehidupan pribadi narasumber, hal-hal yang disepakati untuk off the record, dan lain-lain.
Hak Jawab.
Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang yang memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Hak koreksi
Jak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Implementasi pelaksanaan hak jawab tersebut dapat dilihat dalam Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik, yang menyatakan bahwa wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Selain itu, pelaksanaan hak jawab dan hak koreksi dapat dilakukan juga oleh Dewan Pers, karena salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Lalu tanggapan dari pers atas hak jawab dan hak koreksi berupa kewajiban koreksi yaitu keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
Kewajiban koreksi ini juga merupakan bentuk tanggung jawab pers atas berita yang dimuat perusahaan media.
Kemudian dalam Kode Etik Jurnalistik juga disebutkan bahwa penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan/atau perusahaan pers.
Apabila perusahaan pers tidak melayani hak jawab ataupun hak koreksi, maka dipidana denda maksimal Rp500 juta.
Dasar Hukum:
1.Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
2. Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers.
3. Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”)
4. Pasal 2 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (“Kode Etik Jurnalistik”)
5. Penafsiran Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik
6. Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik
7. Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik
8. Pasal 9 Kode Etik Jurnalistik
9. Pasal 1 angka 11 UU Pers
10. Pasal 1 angka 12 UU Pers
11. Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers
12. Pasal 1 angka 13 UU Pers
12. Pasal 18 ayat (2) UU Pers
(spam)