WartaSugesti.com | Surabaya – Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap 3 Hakim Pem vonis bebas Ronald Tannur, Erintuah Damanik (ED), Mangapul (M), dan Hanindya (HH), di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (23/10/2024) siang.
Ketiga hakim itu diduga menerima gratifikasi saat menangani kasus penganiayaan hingga menewaskan seorang perempuan, Dini Sera Afrianti (29), pacar dari Ronald Tannur.
Kemudian, satu orang tersangka lainnya juga ditangkap, yakni Lisa Rahmat (LR), pengacara Ronald Tannur selaku pemberi suap kepada ketiga hakim., di Jakarta.
“Penyidik menemukan adanya indikasi yang kuat bahwa pembebasan atas terdakwa Ronald Tannur tersebut, diduga ED, HH, dan M menerima suap atau gratifikasi dari pengacara LR,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, dikutip dari Liputan6.com.
Usai pemeriksaan, keempatnya pun resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa suap atau gratifikasi.
“Terhadap keempat tersangka tersebut dilakukan penahanan di rutan selama 20 hari kedepan, sesuai dengan surat penahanan untuk pengacara LR berdasarkan surat perintah penahanan nomor 45, untuk ID berdasarkan surat perintah penahanan nomor 46, untuk HH berdasarkan surat perintah penahanan nomor 47, untuk M berdasarkan surat perintah penahanan nomor 48,” tambah Abdul Qohar.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan mafia peradilan tidak akan pernah jera. Di matanya, operasi tangkap tangan (OTT) 3 hakim di Surabaya itu karena sedang sial saja.
“Jadi itu tidak akan pernah membuat jera para mafia, kecuali hukumannya diubah menjadi hukuman mati,” kata Fickar, Kamis (24/10/2024).
Menurut dia, suap adalah kejahatan paling tua di pengadilan. Bahkan sejak adanya pengadilan, suap juga sudah ada.
“Jadi, kuncinya harus ada transparansi di semua sisi, termasuk pada jaksa, pada polisi, penyidik, dan tentu pada seluruh aparatur pengadilan selain hakim juga,” tambahnya.
Sementara Ahli Hukum Pidana Binus University Ahmad Soflan mengatakan mafia peradilan saat ini tidak saja melibatkan hakim, karena ini adalah sindikasi, dan dilakukan secara terorganisir.
“Di PN Surabaya dan beberapa kota lain mafia peradilan terang-benderang. Penangkapan mafia peradilan oleh jaksa masih sebatas karena adanya dugaan korupsi (termasuk suap), baru sebatas pada hakim, masih belum efektif memberantas mafia peradilan dalam jangka panjang,” kata Ahmad.
Ia menilai, mafia peradilan sudah mendarah daging. Ada yang melibatkan pengacara, bahkan dalam kasus tertentu malah melibatkan jaksa.
“Beranikah jaksa membongkar mafia peradilan yang melibatkan jaksa? Melibatkan polisi dan melibatkan juga pengacara.”
Ia mengatakan, ada kecurigaan yang membuat jaksa menangkap ketiga hakim di PN Surabaya, karena putusannya bebas yang membuat jaksa terpukul.
Penangkapan ini, kata dia, hanyalah shock therapy sesaat, sehingga mafia peradilannya sendiri tidak terbongkar secara menyeluruh.
“Bahkan ada mafia peradilan yang melibatkan secara sistematis dan terstruktur. Mafia peradilan tidak saja tercium tetapi juga terlihat. Bentuknya macam-macam, misalnya jual-beli pasal, jual-beli rencana penuntutan, jual-beli putusan bebas, lepas dan percobaan, jual-beli putusan mengabulkan atau menolak gugatan,” ucapnya. (spam)
*Fakta atau Hoaks?
Silahkan klik WhatsApp pemimpin redaksi 08992870079 untuk konfirmasi.
Klik saluran WhatsApp WartaSugesti.com untuk update berita-berita terkini.