75 / 100 Skor SEO

WartaSugesti.com// Bangkalan – Alloh SWT telah menetapkan hukum waris di dalam Al Quran. Waris merupakan satu aspek dalam Islam yang penting, karena menyangkut hubungan keluarga, persaudaraan, juga kemaslahatan bagi orang yang wafat dan meninggalkan harta di dunia.

Mengetahui hukum waris bertujuan menghindari ketegangan antara anggota keluarga, disebabkan oleh perbedaan pemahaman tentang bagaimana pembagian warisan.

Islam telah menetapkan hukum waris yang tertulis dalam berbagai literatur, termasuk Al-Qur’an dan sunah.

Hukum waris penting dipelajari dan dipahami oleh semua kalangan, mulai dari remaja, dewasa, hingga lansia, bahkan anak-anak.

Sebab, ajal tidak mengenal usia dan setiap muslim wajib mempersiapkan dan memperhitungkan apa yang akan ditinggalkan dan siapa yang akan mewarisinya.

Meski pembahasan tentang warisan sangat sensitif, namun sebagai muslim kita wajib memahaminya agar mampu bersikap adil dan tidak melenceng dari syariat.

Pengertian Warisan dalam Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171, dijelaskan tentang hukum waris: “Hukum waris Islam sepenuhnya adalah hukum yang dibuat untuk mengatur terkait pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan pewaris, serta menentukan siapa saja yang berhak menerima dan menjadi ahli warisnya, dan juga jumlah bagian setiap ahli waris”.

Hukum Waris dalam Al-Qur’an

Ada sejumlah ayat yang mengatur dan menyebut hukum waris.

Beberapa di antaranya adalah surah Al-Baqarah ayat 180 dan surah An-Nisa Ayat 11-12.

Al-Baqarah · Ayat 180

كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرًاۖ ࣙالْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَۗ ۝١٨٠
kutiba ‘alaikum idzâ ḫadlara aḫadakumul-mautu in taraka khairanil-washiyyatu lil-wâlidaini wal-aqrabîna bil-ma‘rûf, ḫaqqan ‘alal-muttaqîn

Artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 180)

Seorang muslim yang akan menjumpai ajalnya, hendaknya ia membuat wasiat, sebuah kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.

Hal ini juga dilakukan untuk menghindari perpecahan, perkelahian di antara anggota keluarga dan sanak saudara, saat si pemilik harta sudah meninggal.

Meski begitu, membuat wasiat juga bisa dilakukan jauh-jauh hari saat belum menemui sakaratul maut.

An-Nisa’ · Ayat 11

يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُۗ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُۚ فَاِنْ كَانَ لَهٗٓ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍۗ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًاۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا ۝١١
yûshîkumullâhu fî aulâdikum lidz-dzakari mitslu ḫadhdhil-untsayaîn, fa ing kunna nisâ’an fauqatsnataini fa lahunna tsulutsâ mâ tarak, wa ing kânat wâḫidatan fa lahan-nishf, wa li’abawaihi likulli wâḫidim min-humas-sudusu mimmâ taraka ing kâna lahû walad, fa il lam yakul lahû waladuw wa waritsahû abawâhu fa li’ummihits-tsuluts, fa ing kâna lahû ikhwatun fa li’ummihis-sudusu mim ba‘di washiyyatiy yûshî bihâ au daîn, âbâ’ukum wa abnâ’ukum, lâ tadrûna ayyuhum aqrabu lakum naf‘â, farîdlatam minallâh, innallâha kâna ‘alîman ḫakîmâ

Artinya :
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS An-Nisa: 11)

An-Nisa’ · Ayat 12

۞ وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌۚ فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍۗ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌۚ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍۗ وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَةٌ وَّلَهٗٓ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُۚ فَاِنْ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاۤءُ فِى الثُّلُثِ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَآ اَوْ دَيْنٍۙ غَيْرَ مُضَاۤرٍّۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌۗ ۝١٢
wa lakum nishfu mâ taraka azwâjukum il lam yakul lahunna walad, fa ing kâna lahunna waladun fa lakumur-rubu‘u mimmâ tarakna mim ba‘di washiyyatiy yûshîna bihâ au daîn, wa lahunnar-rubu‘u mimmâ taraktum il lam yakul lakum walad, fa ing kâna lakum waladun fa lahunnats-tsumunu mimmâ taraktum mim ba‘di washiyyatin tûshûna bihâ au daîn, wa ing kâna rajuluy yûratsu kalâlatan awimra’atuw wa lahû akhun au ukhtun fa likulli wâḫidim min-humas-sudus, fa ing kânû aktsara min dzâlika fa hum syurakâ’u fits-tsulutsi mim ba‘di washiyyatiy yûshâ bihâ au dainin ghaira mudlârr, washiyyatam minallâh, wallâhu ‘alîmun ḫalîm

Artinya :
“Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.” (QS An-Nisa: 12)

Kedua ayat di atas menegaskan bahwa kedudukan hukum waris dalam Islam sangat penting.

Sehingga, ilmu ini perlu dipahami sebelum melakukan pembagian harta dari orang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya. (spam)