WartaSugesti.com | Membela diri, merupakan hak dan kewajiban yang dijamin oleh undang-undang kepada seseorang untuk memelihara dan menjaga keselamatan hidupnya, baik keselamatan jiwa, keselamatan harta benda, maupun kehormatannya.
Pasal pembelaan diri tersebut lebih ditujukan untuk seseorang yang terpaksa melakukan tindakan pidana karena membela diri, yang bisa dimaafkan dikarenakan terjadi pelanggaran hukum yang mendahului perbuatan / pembelaan diri tersebut.
Pasal 49 ayat (1) KUHP menyebutkan:
“Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.
Syarat pembelaan darurat / membela diri menurut R. Soesilo dalam buku “Kitab UU Hukum Pidana’
1. Perbuatan yang dilakukan harus terpaksa dilakukan untuk mempertahankan.
2. Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal, yaitu badan, kehormatan, dan barang diri sendiri atau orang lain.
3. Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada saat itu juga.
Meski membela diri dalam keadaan terdesak diperbolehkan, harus ada batasan dalam pembelaan diri tersebut.
Kondisi jiwa seseorang dalam melakukan pembelaan diri seringkali mengalami goncangan jiwa yang hebat.
Untuk itu berhati-hatilah.
Pastikan bahwa anda bisa membuktikan, bahwa yang anda lakukan tersebut adalah “Pembelaan diri atau membela diri”.
Senada dengan diatas, Penulis, selaku owner Lembaga Pelatihan Silat Sugesti di Surabaya menyebut bahwa pertempuran menggunakan ilmu pencak silat hanya dibenarkan atas 3 keadaan, yaitu membela diri terhadap ancaman nyawa, membela keluarga dan membela harta benda.
Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia yang berlandaskan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (selanjutnya disebut sebagai KUHP), dikenal beberapa alasan penghapusan pidana yang terdiri dari alasan pembenar dan alasan pemaaf yang diatur dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 51 KUHP.
Salah satu alasan penghapus pidana yang diatur dalam KUHP adalah Pembelaan terpaksa (noodweer) sebagimana ketentuan Pasal 49 Ayat (1) dan (2) KUHP.
Pembelaan diri pada Pasal 49 KUHP dibagi menjadi dua yaitu Pembelaan Diri (Noodweer), diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP dan Pembelaan Diri Luar Biasa (Noodweer Excess) atau pembelaan di luar batas, diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP.
Pasal 49 ayat (2) KUHP berbunyi:
“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”
Keduanya berasal dari postulat Necessitas Quod Cogit Defendit, artinya keadaan terpaksa melindungi apa yang harus diperbuat.
Tidak serta merta segala perbuatan pembelaan diri yang dilakukan dapat dijustifikasi oleh pasal ini, setidaknya, terdapat tiga syarat Pembelaan terpaksa, antara lain:
Serangan dan ancaman yang melawan hak yang mendadak dan harus bersifat seketika (sedang dan masih berlangsung) yang berarti tidak ada jarak waktu yang lama, begitu orang tersebut mengerti adanya serangan, seketika itu pula dia melakukan pembelaan.
Serangan tersebut bersifat melawan hukum (bersifat wederrechtelijk), dan ditujukan kepada tubuh, kehormatan,dan harta benda baik punya sendiri atau orang lain.
Pembelaan tersebut harus bertujuan untuk menghentikan serangan, yang dianggap perlu dan patut untuk dilakukan berdasarkan asas proporsionalitas dan subsidiaritas.
Perbuatan harus seimbang dengan serangan, dan tidak ada cara lain untuk melindungi diri kecuali dengan melakukan pembelaan dimana perbuatan tersebut melawan hukum.
Pembelaan Terpaksa (Noodweer) merupakan alasan pembenar yang menghapus elemen “Melawan Hukum” dari perbuatan orang yang membela dirinya.
Misalnya, jika ada begal yang menodong kita dengan pisau, hukum pidana membenarkan tindakan kita untuk melawan penodong tersebut.
Misalnya, dengan cara seketika menendang tangan penodong hingga pisaunya terjatuh, padahal menendang termasuk penganiayaan (mishandeling).
Adapun perbedaannya dengan Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (Noodweerexces) terletak pada syarat adanya “keguncangan jiwa yang hebat”, dalam bentuk kecemasan, perasaan cemas yang dirasakan secara teramat sangat (dahsyat), rasa takut, dan kemarahan hebat, yang berakibat terganggunya keadaan jiwa atau batin seseorang sehingga mengubah serangan tersebut menjadi pembelaan diri yang berlebihan.
Hal tersebutlah yang menyebabkan batas-batas keperluan pembelaan dilampaui, walaupun serangan dari penyerang itu sendiri sebenarnya telah berakhir.
Maka kondisi yang demikian, menjadi suatu alasan pemaaf yang menghapus elemen kesalahan (schuld), dari orang yang membela diri secara berlebihan tersebut.
Dalam menentukan sebuah kejadian merupakan lingkup perbuatan membela diri, aparat penegak hukum perlu meninjau satu persatu kronologi kejadian, dengan memperhatikan unsur-unsur pembelaan diri yang telah ditentukan undang-undang pada peristiwa-peristiwa itu.
Keseimbangan antara kepentingan hukum yang dilindungi dari serangan, dengan kepentingan hukum yang dilanggar dengan pembelaan, atau keseimbangan antara cara pembelaan yang dilakukan, dengan cara serangan yang diterima.
Apabila terdapat cara perlindungan lain untuk menghalau serangan atau ancaman, maka pembelaan tidak boleh dilakukan dengan memilih cara paling berat dengan mengorbankan nyawa seseorang.
Luar biasa, keadaan jiwa yang terguncang yang menyebabkan batas pembelaan diri dilampaui.
Kejelian para penegak hukum dalam menerapkan aturan Pasal 49 KUHP sangat diperlukan, sebab aturan tersebut merupakan sebuah perlindungan hukum bagi mereka yang dianggap berhak untuk melakukan suatu perbuatan tertentu sebagai bentuk pembelaan terpaksa.
Wewenang Penilaian Pembelaan Terpaksa (Noodweer)
Fachrizal Affandi, Ph.D Dosen hukum pidana pada Universitas Brawijaya Malang juga selaku Ketua Persada UB, menyampaikan bahwa hanya hakim yang diberikan kewenangan untuk memutuskan terkait alasan pemaaf dan pembenar dalam tindak pidana serta menilai bersalah tidaknya seorang pelaku tindak pidana.
By. Slamet Pegas Al Madury, Praktisi Silat dan pelatih beladiri di Surabaya
Tim Redaksi