WartaSugesti.com | Surabaya – Pengelola SMP dan SMA Petra Surabaya berseteru dengan masyarakat setempat. Warga menutup jalan satu-satunya menuju lembaga pendidikan itu, karena bising dan bikin macet, sementara pihak sekolah menolak kenaikan iuran keamanan sejumlah 35 juta yang diminta pengurus.
Permasalahan ini, membuat Wakil Wali Kota Surabaya Armuji harus turun tangan sebagai penengah.
Armuji mengatakan, permasalahan tersebut bermula saat pihak sekolah di Jalan Manyar Tirtosarii, Mulyorejo, melaporkan pungutan iuran RW setempat yang terus naik.
“Awalnya Rp25 juta [perbulan], naik Rp32 juta itu sekolah masih mau bayar. Dinaikin lagi jadi Rp35 juta sekolah enggak mau, keberatan,” kata Armuji, saat dikonfirmasi, Jumat (2/8/24).
Armuji mengatakan, di wilayah setempat ada tiga RW yang membayar iuran keamanan ke Bendahara Keamanan yang ditunjuk. Mereka yakni RW 4, RW 5 dan RW 7.
Dan sekolah, kata Armuji juga diminta membayar iuran serupa.
Iuran itu disebut digunakan untuk membayar gaji 30 satpam yang berjaga di lingkungan setempat.
Namun sekolah mengeluh tak pernah mendapat transparansi atau pertanggungjawaban.
“Pihak sekolah audit sendiri, [iuranya] buat bayar 30 Satpam, Satpamnya gajinya cuma Rp2,5 juta, terus itu kali 30 hasilnya cuma berapa, sisanya masih banyak uangnya,” ujar pihak sekolah.
Sebelumnya, Armuji geram, orang nomor 2 di Surabaya itu turun gunung untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.
Armuji mengatakan, awalnya, angka yang diminta tidak langsung Rp 35 juta.
”Jalan yang dilalui di SMP dan SMA Kristen Petra Surabaya itu sudah diserahkan ke Pemkot Surabaya. Sekitar tahun 70, nah itu sekolah masih mau membayar uang keamanan Rp 25 juta. Lalu, sekarang naikRp 35 juta,” ujar Cak Ji sapaan akrab Wakil Wali Kota Surabaya Armuji.
Mantan Ketua DPRD Surabaya itu menegaskan, permintaan uang iuran itu adalah ilegal. Tidak ada uang untuk keamanan.
”Rp 35 juta itu kali 4 (RW) loh, jadi seratus juta sekian per bulan untuk gaji satpam. Lah satpam dihitung seluruh kompleks itu sekitar 25-30an. Akhirnya Petra audit, kalau satpam sekian sisa uangnya banyak, terus warga lain diasumsikan tidak bayar,” kata Armuji.
Armuji menyebutkan, tidak ada hasil dari mediasi keduanya. Baik dari sekolah dengan pengurus RW setempat.
Menurut pengurus RW setempat, angka Rp 25 juta tidak cukup. Jadi, butuh menaikkan angkanya menjadi Rp 35 juta. Alasannya yakni jalan bising karena ada lalu lalang kendaraan.
”Karena warga nggak mau kalau Rp 25 juta, alasannya macet, bising. Tapi saya ngomong, kalau iuran cocok (Rp 35 juta) nggak macet, tapi kalau nggak cocok (Rp 25 juta) dikata macet. Kan lucu. Akhirnya kalau viral gini ada proses hukum, ke polisi atau gimana gitu,” ucap Armuji.
Sementara itu, Kabag Legal Perhimpunan Pendidikan dan Pengajaran Kristen Petra (PPPKP), Christin Novianty mengatakan, masalah itu bermula saat adanya informasi kenaikan iuran keamanan dari Rp32 juta menjadi Rp35 juta.
“Asal mula [perseteruan dengan RW] karena iuran, tahun 2024 kita ada kenaikan iuran semula Rp32 juta jadi Rp35 juta,” kata Christin.
Pihaknya kemudian mempertanyakan kenaikan yang mendadak tersebut. Ia menyayangkan mengapa sekolah tak diajak bicara atau dialog lebih dulu. Menurut mereka ini tidak adil.
“Kok bisa naik tanpa mengundang Petra. Memang mereka sengaja tidak mengundang dan Petra harus mengikuti semua keputusan mereka, kan kalau seperti ini tidak adil,” ucapnya.
Sekolah juga sempat meminta laporan pertanggungjawaban penggunaan dana, namun pihak RW tak pernah memberikannya. Selain itu, mereka sempat menutup akses yang menghubungkan jalan raya dengan sekolah.
“Hasil mediasi mereka tidak akan menutup jalan dan laporan pertanggungjawabannya diberikan. Seiring berjalannya waktu, mereka tidak memberikan laporan dan tidak merespon surat kita,” ujarnya.
Pihak sekolah kemudian memutuskan untuk melaporkan perkara itu ke DPRD Surabaya.
Lalu, anggota dewan memintanya membuat rekayasa lalu lintas dibantu Dinas Perhubungan (Dishub).
“Dishub melakukan kajian lalu lintas di Jalan Menur Pumpungan, Jalan Manyar Airdes, Jalan Manyar Tirto Yoso, Jalan Manyar Tirto Asri, Jalan Manyar Tirto Mulyo, keluar masuk Petra atau titik macetnya,” ucapnya.
Akan tetapi, pihak RW merespons pertemuan tersebut dengan membuat video yang memperlihatkan kemacetan dan menuduh penyebab kepadatan ialah pihak sekolah.
Christin berharap semua pihak bisa duduk bersama membahas perkara ini kembali. Tapi jika tidak, sekolah akan menempuh jalur hukum.
“Kita enggak muluk-muluk, maunya tetap ada komunikasi dengan RW karena masih tinggal di wilayah yang sama. Kalau nanti terus seperti ini, [akses] ditutup, terpaksa ambil jalur hukum,” katanya. (spam)
Tim Redaksi